Oleh: Muhammad Nuh
dakwatuna.com – Rezeki dalam kehidupan manusia persis seperti air hujan terhadap tanaman. Ketika curah hujan cukup, tanaman pun kian menghijau, berbunga, dan akhirnya menghasilkan buah. Bedanya dengan tanaman, manusia mestinya tak perlu layu ketika rezeki tak kunjung turun.
Namun, sifat manusia memang selalu tergesa-gesa. Kala rezeki tak menetes dari langit, tak sedikit orang berpikiran pendek. Frustasi. Dan memilih layu dan gugur tanpa arti. Media massa pernah mengabarkan seorang ibu dengan menggendong balita menceburkan diri ke air danau berkedalaman puluhan meter.
Media juga mencatat seorang ibu membakar diri karena bingung tak lagi punya uang untuk makan. Ia hangus terbakar bersama dua balitanya yang sedang sakit. Na’udzubillah.
Rasa lapar kadang membuat manusia kehilangan akal sehat. Hilang akal hilang martabat. Media pernah memberitakan seorang suami tega “menyewakan” isterinya ke lelaki lain lantaran tak punya uang untuk mengontrak toko. Na’udzubillah.
Masih banyak lagi kisah getir sejenis diungkap media massa. Mempertontonkan keputusasaan manusia. Keputusasaan itu berpangkal pada himpitan ekonomi.
Sedihnya, sebagian besar mereka muslim. Entah apakah mereka pernah sempat mendengar di tempat pengajian bahwa urusan rezeki sangat berkait dengan keimanan seseorang. Rezeki, selain sebagai anugerah, juga sarana ujian: seberapa tinggi mutu keimanan seorang hamba Allah ketika ia mendapati takaran rezekinya.
Memang, tidak semua sisi yang berhubungan dengan rezeki menjadi urusan pribadi. Makmur tidaknya seorang anak manusia, boleh jadi, sangat berkait dengan kebijakan pemerintahnya. Penyediaan lapangan kerja, pemberian subsidi buat bahan pokok, kemudahan pinjaman modal; adalah di antara bentuk kebijakan yang sangat berpengaruh buat kemakmuran warga sebuah bangsa.
Namun, ketika kenyataan tidak seperti yang diinginkan, semua kembali pada kekuatan pribadi masing-masing. Dan salah satu kunci kekuatan adalah benteng keimanan. Inilah yang akhirnya sangat menentukan apakah seorang hamba Allah bisa tahan dengan problem rezeki.
Ada beberapa lubang kesalahpahaman soal rezeki yang kerap menjebloskan seseorang ke dalam kubangan kehinaan. Dan lubang-lubang itu terus berubah bergantung pada siapa yang akan jadi target. Pertama, anggapan bahwa rezeki sebagai kunci segala masalah. Inilah yang akhirnya menjadikan seseorang mengalami pergeseran tujuan hidup. Karena rezeki jadi sumber solusi, rezeki pun menjadi tujuan. Bukan lagi sekadar sarana yang boleh ada, boleh tidak.
Orang yang terjeblos pada anggapan ini, akan menghalalkan segala cara. Apa pun ia tempuh asal bisa dapat banyak rezeki. Dan jika akhirnya rezeki luput, ia akan putus asa. Baginya, kehidupan tak lagi punya arti tanpa rezeki. Maha Benar Allah dalam firman-Nya, “(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Al-Hadiid: 23)
Dalam cakupan yang lebih besar, pengalaman membuktikan bahwa kejatuhan seorang muslim -termasuk pada dai dan ulama– karena mereka terjeblos pada lubang jenis ini. Mereka pun dipermainkan kepentingan materi. Ada yang saling bermusuhan, ada yang rela menjadi kacung-kacung kekuasaan (misalnya Bal’am, seorang ulama Bani Israil yang menyangga kekuasan Fir’aun). Mereka rela melakukan apa pun asal tetap dapat rezeki. Na’udzubillah.
Kedua, anggapan rezeki berbanding lurus dengan tingkat ketakwaan seseorang kepada Allah swt. Anggapan ini yang di antaranya menjadi sebab tergelincirnya hamba-hamba Allah dari keikhlasan. Bahkan mungkin, bisa berubah menjadi kufur.
Tidak semua bentuk kasih sayang Allah swt. terlimpah langsung di kehidupan dunia. Bahkan boleh jadi, pengecilan takaran rezeki buat seseorang adalah di antara bentuk kasih sayang Allah terhadap orang itu. Karena tidak tertutup kemungkinan, orang justru jadi tidak lagi taat ketika rezekinya berlimpah.
Hal itulah yang pernah dialami salah seorang pengikut sekaligus keluarga dekat Nabi Musa a.s., Qarun. Ketika pintu rezeki terbuka lebar, ia justru berubah kufur. “Sesungguhnya Qarun adalah termasuk kaum Musa (anak paman Nabi Musa), maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya: ‘Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri.” (Al-Qashash: 76)
Kalau rezeki berbanding lurus dengan tingkat taat dan takwa, tentu orang yang paling kaya di seluruh penjuru dunia adalah para Rasul, sahabat, dan orang-orang saleh. Tapi, fakta sejarah tidak mengatakan itu. Sebaliknya, merekalah yang selalu berlimut sederhana. Bahkan, Rasulullah saw. pernah berpuasa setelah mendapatkan kabar dari isterinya kalau isi dapur memang benar-benar kosong.
Rezeki adalah salah satu di antara sekian mata pelajaran yang Allah ujikan dalam madrasah dunia ini. Banyak rezeki ujian, begitu pun ketika sedikit. Jangan sampai kita tidak pernah lulus di dunia keadaan itu. Banyaknya menjadi boros dan sombong, sedikitnya menjadi putus asa dan kufur.
Sumber : http://www.dakwatuna.com/2008/rezeki-mata-uji-madrasah-kehidupan/
Share
Artikel ini di Posting : Anonymous Tentang Dunia Islam
Terima Kasih sahabat telah membaca : Rezeki Mata Uji Madrasah Kehidupan Silahkan membaca artikel lainnya tentang
di sini Tentang Dunia Islam
Anda bisa menyebarluaskan artikel ini, Asalkan meletakkan link dibawah ini sebagai sumbernya
Anda bisa menyebarluaskan artikel ini, Asalkan meletakkan link dibawah ini sebagai sumbernya
{ 0 komentar... read them below or add one }
Post a Comment