Membentuk Generasi Ulama Intelek
H. Bachtiar Nasir, Lc. (Sekretaris Jenderal MIUMI)
Kontribusi ilmuwan Muslim terhadap dunia
sains pada abad ke-9 hingga abad ke-14 M memang bukan isapan jempol belaka.
Karya-karya mereka banyak diadopsi oleh ilmuwan Barat sehingga mereka mampu
menguasai peradaban modern yang saat ini kita lihat dan saksikan.
Sejarah membuktikan,
zaman keemasan kerap dibarengi dengan kemajuan di bidang sains, matematika, dan
teknologi. Begitu juga peradaban Islam yang pernah berjaya, umat Islam
mendominasi dan menelurkan penemuan-penemuan yang menakjubkan dan membuka
cakrawala dunia sains.
Pada masa itu, munculnya nama-nama
ilmuwan yang tak asing lagi, seperti Jabir Ibnu Hayyan, al-Biruni, Ibnu Sina,
ar-Razi, dan al-Majriti, Khawarizmi dan lain sebaginya, yang telah mengukir
sejarah dengan catatan emas dan terus dikenang hingga kini.
Namun sayang, masyarakat lebih
familier dengan para Ilmuwan Barat daripada para Ilmuwan Muslim. Karya fenomenal ilmuwan Muslim hanya menjadi gambaran
romantisme sejarah dan umat Islam saat ini belum menemukan wujud jatinya
sebagai penggerak peradaban sebagaimana beberapa abad lalu.
Kini, umat Islam hanya bisa
disuguhi karya-karya Barat yang kering dengan ruh spiritual. Sudah saatnya
masyarakat dikenalkan kepada mereka yang sesungguhnya telah mengubah peradaban
dunia melalui karya-karya mereka.
Masalahnya, sejauh mana peran umat
Islam saat ini untuk mengikuti jejak ulama terdahulu yang benar-benar all out
dalam mengkaji disiplin ilmu.
Untuk mengetahui peran ulama dan
pendidikan dalam membangkitkan kembali pemikiran-pemikiran ulama terdahulu, Majalah
Gontor, Edithya Miranti dan
Fathurroji mewawancarai Ustadz H. Bachtiar Nasir, Lc., Sekretaris
Jenderal Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) di sela-sela
acara pembukaan FRC 2012. Berikut petikan wawancaranya:
Umat Islam cukup tertinggal di bidang Iptek, bagaimana
caranya agar umat Islam bisa kembali bangkit menjadi generasi yang kaya Iptek
namun berakhlak mulia?
Dalam konsep kultur sosial islam, sebagaimana yang dikatakan Al-Ghazali, ”Rusaknya umat karena rusaknya pemimpin, rusaknya pemimpin karena rusaknya ulama.” Jadi, perbaikan pertama untuk mencerdaskan umat ini harus dimulai dari perbaikan ulama.
Dalam konsep kultur sosial islam, sebagaimana yang dikatakan Al-Ghazali, ”Rusaknya umat karena rusaknya pemimpin, rusaknya pemimpin karena rusaknya ulama.” Jadi, perbaikan pertama untuk mencerdaskan umat ini harus dimulai dari perbaikan ulama.
Saat ini, banyak orang
yang pandai matematika, tapi tidak pandai berhitung. Mereka pintar otak-atik
angka, namun semua itu adalah korupsi. Kepandaian yang mereka miliki tidak
dibarengi dengan akhlak mulia. Karena itu, akhlak itu sangat penting untuk
membentengi diri.
Bagaimana
dengan program kader ulama?
Alhamdulillah. Saat
ini sudah ada program-program kaderisasi ulama yang dibina oleh Majelis Ulama
Indonesia (MUI), dan insya Allah Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia
(MIUMI) serta lembaga-lembaga Islam di Indonesia.
Cuma ini memang masih
sangat kurang, masih sangat minim sekali, dan sangat miskin. Karenanya, ini
perlu perhatian khusus dari segenap tokoh dan masyarakat untuk ikut serta dan
juga pemerintah mendukung program kaderisasi ulama ini.
Bagaimana
seharusnya ulama membangkitkan umat saat ini?
Para ulama harus
kembali pada posisinya, penyakit terbesar para ulama adalah cinta dunia. Kalau
sudah berhubungan dengan para penguasa, sudah masuk ke dalam dunia politik,
akhirnya mereka lupa dengan posisinya dan tidak lagi menjadi teladan bagi umat.
Jadi, kalau ingin
membangkitkan umat Islam, di Indonesia pada khususnya, maka para ulama harus
kembali kepada posisinya sebagai orang yang menyebarkan ilmu-ilmu Allah dengan
cara takut kepada Allah SWT, lalu mendidik sebanyak-banyaknya.
Kemudian, mengajak pemerintah
untuk bersama-sama membangun kecerdasan ulama-ulama ini dan memberikan
kesejahteraannya, supaya mereka tidak gampang terpancing pada urusan dunia,
meskipun itu bukan menjadi satu alasan.
Lalu bagaimana
peran pendidikan untuk itu?
Pendidikan agama di
sekolah itu harus dibarengi pendidikan orangtua di rumah. Pendidikan agama ini
yang harus diperbanyak dan media-media Islam juga harus bersatu, bagaimana cara
membangun kecerdasan umat ini.
Bagaimana Anda melihat peran pesantren dalam pembentukan
ulama intelek?
Alhamdulillah. Sampai
saat ini, pesantren masih berperan penting sebagai benteng utama di Indonesia.
Bahwa di sana ada pesantren yang misorientasi atau tidak menjadi sarana untuk tafaquh
fi diin, itu mungkin bisa menjadi improvisasi. Batasannya, ya jangan
menjadikan pesantren-pesantren kehilangan arah sebagai pusat tafaquh fi din.
Alhamdulillah.
Alumni-alumni pesantren sampai sekarang masih banyak yang komit. Saat mereka
keluar dari pesantren, mereka masih tetap berjuang menegakkan agama Allah dan
mengajarkan ilmu-ilmunya.
Apa peran MIUMI dalam pembentukan ulama intelek?
Alhamdulillah. Kami
(MIUMI) telah melakukan percepatan. Kita tidak bergerak sendiri-sendiri. Kami
menggandeng para tokoh ormas atau tokoh umat yang tujuan utamanya ke umat, bukan
kekuasaan. Jadi, kita berbasis massa untuk bekerja sama bersatu mencerdaskan
umat dalam dua bentuk, yakni pembinaan dan perlindungan dari arus aliran sesat
yang sedang berkembang.
Kedua hal itu harus
dilakukan. Kalau pembinaan tidak disertai perlindungan akidah atau perlindungan
umat dari aliran sesat, maka semua ini bisa mengacaukan apa yang sudah kita
bangun. Karena itu, MIUMI juga sedang berupaya melakukan kaderisasi ulama dan
merekrut ulama-ulama yang ada di seluruh Indonesia—termasuk para ulama muda
yang tujuan utamanya tertuju ke umat.
Apa
kegiatan utama dari MIUMI?
Ada tiga kegiatan utama yang
dilakukan MIUMI. Pertama, riset atau
penelitian—terutama untuk melahirkan fatwa untuk persoalan umat. Karena basis
kita adalah ilmu pengetahuan, gerakan kita lebih pada membangun umat dengan
ilmu pengetahuan. Kedua, menyosialisasikan hasil riset. Ketiga,
menegakkan fatwa yang sudah kita riset dan sosialisasikan.
Bagaimana prosedurnya?
Tentu, dengan bekerja
sama pada lembaga-lembaga Islam yang ada di Indonesia khususnya.
Bagaimana pandangan Anda terhadap kurikulum pendidikan di
sekolah-sekolah di Indonesia yang saat ini?
Pendidikan kita
sekarang, pertama sangat materialistik, kedua dikotomis agama dan nonagama,
ketiga sekularisme sangat kencang, keempat liberalismenya juga luar biasa, dan
kelima porno yang sudah ada dan menjalar di sekolah-sekolah. Fakta inilah yang
kini terjadi di sejumlah lembaga pendidikan.
Kurikulum pendidikan saat ini terkesan ikut
menutup-nutupi kebenaran sehingga banyak korban pelajar yang tidak mengenal
hasil jerih payah para tokoh Islam terdahulu. Jika ada yang mengusulkan
perubahan kurikulum pendidikan, bagaimana sikap Anda?
Saya setuju. Bagus
sekali! Itu kan kejujuran intelektual yang harus dibangun di kalangan intelek
dan di tengah masyarakat. Jadi, budaya plagiator dan ketidakjujuran harus
dihilangkan dalam keilmuan.
Apa usulan Anda tentang hal ini?
Kelihatannya, Kementerian
Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama harus memperhatikan tokoh-tokoh umat
dalam menyusun tinjauan instruksional umum maupun khusus. Minimal, di daerah
pun harus dilibatkan. Bahwa nanti di tingkat teknis pokok bahasan dan subpokok
bahasan bisa melibatkan ahlinya atau guru.
Akan tetapi, secara garis besar,
untuk menentukan arah pendidikan dan pembahasan harus melibatkan para tokoh.
Karena sejujurnya, Kementerian Pendidikan Nasional maupun Kementerian Agama
juga kekurangan informasi, kekurangan Sumber Daya Manusia—terutama kekurangan
cahaya, di mana mereka butuh bantuan para ulama.
Terkait dengan pendidikan mental, bagaimana pendapat Anda?
Ada tiga pendidikan mental dasar
yang wajib diberikan orangtua kepada anak-anaknya. Dalam surah Luqman ayat 17
sudah menggariskan hal ini, yaitu komitmen tinggi dalam mendirikan shalat,
keberanian beramar makruf nahi mungkar, serta berjiwa kesatria dan sabar.
Sedangkan, surah Luqman ayat 18
menyebut dua pilar pendidikan akhlak bagi anak, yaitu pancaran air muka tawadhu
(rendah hati), tidak sombong, tidak memalingkan wajah karena menganggap rendah
orang lain, serta berlaku santun dan tidak angkuh saat berjalan dan berkarya.
Menurut Anda, mungkinkah harapan ini bisa terjadi?
Sangat mungkin.
Sebetulnya, Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama telah
mengundang, meski tidak sering, dari pihak swasta dan beberapa pakar. Hanya
saja, ruang lingkupnya masih kecil dan sering kali antara yang dirapatkan dan
yang dilaksanakan berbeda. Dan yang membahayakan, saya pernah menjadi korban.
Jadi, tokoh yang diundang hanya untuk membocorkan Dana Abadi Umat (DAU),
misalnya. Membentuk Generasi Ulama Intelek
Artikel ini di Posting : Ruly Abdillah Ginting Tentang Dunia Islam
Terima Kasih sahabat telah membaca : Membentuk Generasi Ulama Intelek Silahkan membaca artikel lainnya tentang Tokoh Muslim,Wawancara Ustadz
di sini Tentang Dunia Islam
Anda bisa menyebarluaskan artikel ini, Asalkan meletakkan link dibawah ini sebagai sumbernya
Anda bisa menyebarluaskan artikel ini, Asalkan meletakkan link dibawah ini sebagai sumbernya
{ 0 komentar... read them below or add one }
Post a Comment