Membentuk Generasi Ulama Intelek

Diposkan oleh Ruly Abdillah Ginting on Wednesday, December 26, 2012




Membentuk Generasi Ulama Intelek

H. Bachtiar Nasir, Lc. (Sekretaris Jenderal MIUMI)
xKontribusi ilmuwan Muslim terhadap dunia sains pada abad ke-9 hingga abad ke-14 M memang bukan isapan jempol belaka. Karya-karya mereka banyak diadopsi oleh ilmuwan Barat sehingga mereka mampu menguasai peradaban modern yang saat ini kita lihat dan saksikan.
Sejarah membuktikan, zaman keemasan kerap dibarengi dengan kemajuan di bidang sains, matematika, dan teknologi. Begitu juga peradaban Islam yang pernah berjaya, umat Islam mendominasi dan menelurkan penemuan-penemuan yang menakjubkan dan membuka cakrawala dunia sains.
Pada masa itu, munculnya nama-nama ilmuwan yang tak asing lagi, seperti Jabir Ibnu Hayyan, al-Biruni, Ibnu Sina, ar-Razi, dan al-Majriti, Khawarizmi dan lain sebaginya, yang telah mengukir sejarah dengan catatan emas dan terus dikenang hingga kini.
Namun sayang, masyarakat lebih familier dengan para Ilmuwan Barat daripada para Ilmuwan Muslim. Karya fenomenal ilmuwan Muslim hanya menjadi gambaran romantisme sejarah dan umat Islam saat ini belum menemukan wujud jatinya sebagai penggerak peradaban sebagaimana beberapa abad lalu.
Kini, umat Islam hanya bisa disuguhi karya-karya Barat yang kering dengan ruh spiritual. Sudah saatnya masyarakat dikenalkan kepada mereka yang sesungguhnya telah mengubah peradaban dunia melalui karya-karya mereka.
Masalahnya, sejauh mana peran umat Islam saat ini untuk mengikuti jejak ulama terdahulu yang benar-benar all out dalam mengkaji disiplin ilmu.
Untuk mengetahui peran ulama dan pendidikan dalam membangkitkan kembali pemikiran-pemikiran ulama terdahulu, Majalah Gontor, Edithya Miranti dan Fathurroji mewawancarai Ustadz H. Bachtiar Nasir, Lc., Sekretaris Jenderal Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) di sela-sela acara pembukaan FRC 2012. Berikut petikan wawancaranya:

Umat Islam cukup tertinggal di bidang Iptek, bagaimana caranya agar umat Islam bisa kembali bangkit menjadi generasi yang kaya Iptek namun berakhlak mulia?

Dalam konsep kultur sosial islam, sebagaimana yang dikatakan Al-Ghazali, ”Rusaknya umat karena rusaknya pemimpin, rusaknya pemimpin karena rusaknya ulama.” Jadi, perbaikan pertama untuk mencerdaskan umat ini harus dimulai dari perbaikan ulama.
Saat ini, banyak orang yang pandai matematika, tapi tidak pandai berhitung. Mereka pintar otak-atik angka, namun semua itu adalah korupsi. Kepandaian yang mereka miliki tidak dibarengi dengan akhlak mulia. Karena itu, akhlak itu sangat penting untuk membentengi diri.
Bagaimana dengan program kader ulama?
Alhamdulillah. Saat ini sudah ada program-program kaderisasi ulama yang dibina oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan insya Allah Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) serta lembaga-lembaga Islam di Indonesia.
Cuma ini memang masih sangat kurang, masih sangat minim sekali, dan sangat miskin. Karenanya, ini perlu perhatian khusus dari segenap tokoh dan masyarakat untuk ikut serta dan juga pemerintah mendukung program kaderisasi ulama ini.
Bagaimana seharusnya ulama membangkitkan umat saat ini?
Para ulama harus kembali pada posisinya, penyakit terbesar para ulama adalah cinta dunia. Kalau sudah berhubungan dengan para penguasa, sudah masuk ke dalam dunia politik, akhirnya mereka lupa dengan posisinya dan tidak lagi menjadi teladan bagi umat.
Jadi, kalau ingin membangkitkan umat Islam, di Indonesia pada khususnya, maka para ulama harus kembali kepada posisinya sebagai orang yang menyebarkan ilmu-ilmu Allah dengan cara takut kepada Allah SWT, lalu mendidik sebanyak-banyaknya.
Kemudian, mengajak pemerintah untuk bersama-sama membangun kecerdasan ulama-ulama ini dan memberikan kesejahteraannya, supaya mereka tidak gampang terpancing pada urusan dunia, meskipun itu bukan menjadi satu alasan.
Lalu bagaimana peran pendidikan untuk itu?
Pendidikan agama di sekolah itu harus dibarengi pendidikan orangtua di rumah. Pendidikan agama ini yang harus diperbanyak dan media-media Islam juga harus bersatu, bagaimana cara membangun kecerdasan umat ini.
Bagaimana Anda melihat peran pesantren dalam pembentukan ulama intelek?
Alhamdulillah. Sampai saat ini, pesantren masih berperan penting sebagai benteng utama di Indonesia. Bahwa di sana ada pesantren yang misorientasi atau tidak menjadi sarana untuk tafaquh fi diin, itu mungkin bisa menjadi improvisasi. Batasannya, ya jangan menjadikan pesantren-pesantren kehilangan arah sebagai pusat tafaquh fi din.
Alhamdulillah. Alumni-alumni pesantren sampai sekarang masih banyak yang komit. Saat mereka keluar dari pesantren, mereka masih tetap berjuang menegakkan agama Allah dan mengajarkan ilmu-ilmunya.
Apa peran MIUMI dalam pembentukan ulama intelek?
Alhamdulillah. Kami (MIUMI) telah melakukan percepatan. Kita tidak bergerak sendiri-sendiri. Kami menggandeng para tokoh ormas atau tokoh umat yang tujuan utamanya ke umat, bukan kekuasaan. Jadi, kita berbasis massa untuk bekerja sama bersatu mencerdaskan umat dalam dua bentuk, yakni pembinaan dan perlindungan dari arus aliran sesat yang sedang berkembang.
Kedua hal itu harus dilakukan. Kalau pembinaan tidak disertai perlindungan akidah atau perlindungan umat dari aliran sesat, maka semua ini bisa mengacaukan apa yang sudah kita bangun. Karena itu, MIUMI juga sedang berupaya melakukan kaderisasi ulama dan merekrut ulama-ulama yang ada di seluruh Indonesia—termasuk para ulama muda yang tujuan utamanya tertuju ke umat.
Apa kegiatan utama dari MIUMI?
Ada tiga kegiatan utama yang dilakukan MIUMI. Pertama, riset atau penelitian—terutama untuk melahirkan fatwa untuk persoalan umat. Karena basis kita adalah ilmu pengetahuan, gerakan kita lebih pada membangun umat dengan ilmu pengetahuan. Kedua, menyosialisasikan hasil riset. Ketiga, menegakkan fatwa yang sudah kita riset dan sosialisasikan.
Bagaimana prosedurnya?
Tentu, dengan bekerja sama pada lembaga-lembaga Islam yang ada di Indonesia khususnya.
Bagaimana pandangan Anda terhadap kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah di Indonesia yang saat ini?
Pendidikan kita sekarang, pertama sangat materialistik, kedua dikotomis agama dan nonagama, ketiga sekularisme sangat kencang, keempat liberalismenya juga luar biasa, dan kelima porno yang sudah ada dan menjalar di sekolah-sekolah. Fakta inilah yang kini terjadi di sejumlah lembaga pendidikan.
Kurikulum pendidikan saat ini terkesan ikut menutup-nutupi kebenaran sehingga banyak korban pelajar yang tidak mengenal hasil jerih payah para tokoh Islam terdahulu. Jika ada yang mengusulkan perubahan kurikulum pendidikan, bagaimana sikap Anda?
Saya setuju. Bagus sekali! Itu kan kejujuran intelektual yang harus dibangun di kalangan intelek dan di tengah masyarakat. Jadi, budaya plagiator dan ketidakjujuran harus dihilangkan dalam keilmuan.
Apa usulan Anda tentang hal ini?
Kelihatannya, Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama harus memperhatikan tokoh-tokoh umat dalam menyusun tinjauan instruksional umum maupun khusus. Minimal, di daerah pun harus dilibatkan. Bahwa nanti di tingkat teknis pokok bahasan dan subpokok bahasan bisa melibatkan ahlinya atau guru.
Akan tetapi, secara garis besar, untuk menentukan arah pendidikan dan pembahasan harus melibatkan para tokoh. Karena sejujurnya, Kementerian Pendidikan Nasional maupun Kementerian Agama juga kekurangan informasi, kekurangan Sumber Daya Manusia—terutama kekurangan cahaya, di mana mereka butuh bantuan para ulama.
Terkait dengan pendidikan mental, bagaimana pendapat Anda?
Ada tiga pendidikan mental dasar yang wajib diberikan orangtua kepada anak-anaknya. Dalam surah Luqman ayat 17 sudah menggariskan hal ini, yaitu komitmen tinggi dalam mendirikan shalat, keberanian beramar makruf nahi mungkar, serta berjiwa kesatria dan sabar.
Sedangkan, surah Luqman ayat 18 menyebut dua pilar pendidikan akhlak bagi anak, yaitu pancaran air muka tawadhu (rendah hati), tidak sombong, tidak memalingkan wajah karena menganggap rendah orang lain, serta berlaku santun dan tidak angkuh saat berjalan dan berkarya.
Menurut Anda, mungkinkah harapan ini bisa terjadi?
Sangat mungkin. Sebetulnya, Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama telah mengundang, meski tidak sering, dari pihak swasta dan beberapa pakar. Hanya saja, ruang lingkupnya masih kecil dan sering kali antara yang dirapatkan dan yang dilaksanakan berbeda. Dan yang membahayakan, saya pernah menjadi korban. Jadi, tokoh yang diundang hanya untuk membocorkan Dana Abadi Umat (DAU), misalnya. 
Membentuk Generasi Ulama Intelek

Artikel ini di Posting : Ruly Abdillah Ginting Tentang Dunia Islam

Ruly Abdillah Ginting Terima Kasih sahabat telah membaca : Membentuk Generasi Ulama Intelek Silahkan membaca artikel lainnya tentang , di sini Tentang Dunia Islam
Anda bisa menyebarluaskan artikel ini, Asalkan meletakkan link dibawah ini sebagai sumbernya

:: Get this widget ! ::

{ 0 komentar... read them below or add one }

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Followers